Dan bukankah kegelapan tak pernah berdaya di hadapan setitik cahaya?
Sebuah pesan singkat yang kudapat malam ini sungguh kontras dengan pemandangan langit di atasku. Bulan bulat penuh dengan iringan awan hitam yang menaunginya perlahan tersapu angin yang bertiup ringan dari selatan.
Adalah aku yang selalu ingin menjelma malam untuk dapat menemanimu yang tengah bertugas malam ini, cinta.
Kembali kubaca pesan lanjutan yang baru saja masuk ke dalam kotak surat elektronikku. Tak pernah kupungkiri, aku selalu senang menerima pesan-pesan yang dikirimkannya. Selalu penuh sanjung dan memujaku begitu rupa. Ah wanita.. Ya, aku memang wanita. Aku menyukai bentuk pujian yang membuatku merasa istimewa.
J
Hanya ikon itu yang kukirimkan untuknya. Untuk Elik, pria yang tak pernah kusangka menjadi bagian mozaik dari puzzleku.Aku tak pernah mengatakan kalau ini adalah sebuah kebetulan, tapi ini adalah rencana Tuhan yang mengenalkan aku padanya.
Seperti memilih menjadikannya rahasia, aku menyimpan sendiri senyumku sebab segala hal menyenangkan yang dilakukan Elik. Jika pun aku ingin berbagi, aku memberikannya kepada cermin.(hahaiy….)
Tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya,terus mengajakku berbincang apa saja yang bisa mengubah tawa dan menyulut semangat yang begitu hangat memeluki aku. Sepanjang hari, tanpa henti. Itulah salah satu hal yang kusukai dari dirinya,bersemangat dengan hidup yang dijalani dan mampu menyamangati.
Terkadang aku dililit ingin yang melebihi bahagia yang aku nikmati sendiri. Aku ingin menatap lekat mata mungil Elik. Aku ingin menikmati pikat cara bicaranya sekali lagi. Namun, aku pun tak tahu apa yang bisa aku lakukan saat ini.
Kadang ada keinginan untuk mengajaknya bertemu tapi selalu saja ada yang membuatku meragu. Aku terlalu takut jika aku mengganggu kesehariannya,dan aku takut harapanku tak terjawab karena jawabannya yang ‘tidak bisa’. Kecewa dong,xixixi. Aku tak pernah tahu, apakah ia hanya seorang pria yang memang senang menjual kata-kata sebagai senjata menaklukan wanita atau ia memang orang yang selalu penuh cinta? Terhadapku terutama.
dinda, adakah kau memiliki keinginan untuk bertemu denganku kali ini?
Pesan yang masuk baru saja membuat tanganku gemetar. Ia seperti membaca hati dan pikiranku saat ini. Benakku seolah dibacanya.Aku yakin, wajahku pasti sudah memerah. Aku tak bisa bayangkan jika ini terjadi saat aku bertatap mata dengannya. Dengan pria yang sungguh telah membuatku didesak rasa cinta. Bahkan kadang terlalu berlebihan.
Terima kasih Elik,ucapku lirih.Rona merah di pipiku sepertinya berisyarat anggukan istimewa untukmu.
Ya,kamu memang istimewa.Entah mantra apa yang mendadak aku rapalkan hingga tiba-tiba saja aku berani menyisipkannya untuk dia. Aku menjamu derap jantung yang semakin kencang. Aku memejam dan meringis menahannya agar jantungku tak buru-buru meloncat keluar.
Ah, apakah ini kelelahanku yang terlalu lama bersembunyi dalam semu yang seharusnya bisa aku perjuangkan menjadi nyata?
Tuhan, adakah engkau sedang mempermainkan perasaanku saat ini? Semoga engkau tidak sedang bermain dengan hatiku yang sepertinya sudah lama berselimut debu. Maaf, aku bukan sedang mengancamMu, tapi aku hanya inginkan sesuatu yang sedikit lebih nyata untukku angankan. Bukan sekadar mimpi yang membuat hari-hariku semakin dilanda sendu karena harapan itu terlalu semu.
Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Aku hanya menikmati gerimis manja yang sore itu menemani perjalananku. Tak juga terlalu gontai langkahku. Namun, kemudian aku tak ingat lagi. Laju motorku tak menghiraukan gerimis sore itu. Aku menyeberang tanpa melihat kanan kiri.
Mungkin, aku terlalu bersemangat memenuhi janjiku. Mungkin, aku terlalu bersemangat menuruti rasa rinduku. Mungkin, aku sangat ingin menggemakan tawa atas pertemuanku dengannya. Mungkin aku sangat berharap dapat menggenggam tangannya yang penuh hangat. Iya, ,menjawab semua rasa mungkin yang bergelayut atasnya. Hatiku pilu jika mengingat kejadian itu. Terkadang hatiku tertusuk olehnya. Aku marah. Aku kecewa. Kadang ada sesal yang menggayut manja perlahan. Apakah ia begitu layak untuk mendapatkan sebuah pengorbanan seperti ini?
Tapi lagi-lagi entah mantra apa yang membuatku tidak pernah bisa melayangkan benci padanya. Tidak sedikitpun. Ternyata diam-diam aku bergantung padanya. Ada jutaan semangat dan senyum yang selalu ia kirimkan melalui pesan singkat ke nomorku. Sederhana, tapi aku merasakan cinta yang tulus darinya. Oh Tuhan, semoga ini bukan rasaku saja.
vvv
“Mba Anis… kok ngelamun lagi? Hayooo..mikirin siapa?” sebuah suara dari balik pintu mengagetkanku.
“Ah, kamu mengagetkanku saja sus.!” jawabku sambil berbalik menujunya.
“Masih sakit, mbak?”
Ada getir halus menelusup perlahan memudarkan senyum yang sejak tadi terkembang di ujung bibirku.
“Umm.. sudah mendingan. Sus,aku boleh ditambah dosisnya?”
“Jangan mbak, dokter bilang dosis itu sudah cukup untuk kondisi mbak Anis sekarang,”ujarnya sambil merapikan beberapa mangkuk obat yang sudah kuhabiskan baru saja.
“Mbak Anis harus terus semangat ya! Ini bukan akhir dari segalanya, Mbak.” kata-kata Mela, suster yang merawatku menggantung di udara.
Aku hanya mendengar kata-katanya sekilas sambil melihat wajahku dalam cermin dan sesekali melihat selang putih bening tertancap di tanganku.
Telepon genggamku berdering. Satu nama yang aku tunggu akhirnya kunjung menghubungiku. “Selamat pagi cintaku,” sapanya dari seberang. Ada tenang yang menghangat di sekujur tubuhku. Elik, iya Elik. Aku tak pernah berpura-pura tersenyum menyambut sapanya. “Oke, aku akan datang, menemuimu sebentar lagi ya.”
Satu jam, dua jam, aku menantikan kedatangan Elik, menjengukku. Senja sudah menepi. Ada yang mengetuk pintu kamar rawatku. Aku mengangkat sedikit kepalaku. Menengok siapa yang datang. Aku tersenyum. Senyuman istimewa yang kujanjikan pada diriku sendiri untuk kuberikan kepadanya, yang menjanjikan pertemuan itu. Elik. Senyum untuk Elik. “Hai, masuklah. Terima kasih sudah datang menjengukku,” aku melihat Elik melangkah mendekat ke arah pembaringanku.
Tapi kemudian aku mengernyit. Ada kejut yang semena-mena menyapa. Pernyataan Lestari yang sontak mengguruhkan hatiku. Entah bercanda,ataupun suatu kesungguhan??? Entahlah. Apakah aku harus meragu lagi atas sikapnya?
Waktu menjadikan pikiran ini lebih menuju ke arah yang matang. Aku menyadarinya,ia selalu berinteraksi dengan lawan jenis. Terlebih ia adalah sosok yang mempunyai pengaruh terhadap apa yang diembannya. Jadi tak heran bila ia mempunyai pengagum. Yah,, aku menyadarinya, terlebih aku bukan wanita yang sempurna. pintar? Masih aku usahakan. Lebih cantik dari mereka? Juga susah tuk mengiyakan..
Selalu ku tutup itu dengan senyuman,biarlah itu berlalu. Aku memang tidak seperti mereka namun aku meyakinkan diriku bahwa aku mampu setia menjaga hubungan ini. Aku tak lagi meragu. Kubiarkan semua ini kan terjawab dengan bergantinya waktu. Seketika semuanya menjadi terang. Aku biarkan semua impian itu terlelap dahulu dalam benakku. Biarkan aku menunggu debaran sang bulan untuk menjawabnya. Bulan akan bersinar.
Yogyakarta,31.12.2012(past story)