Oleh Sarjoko
‘’ Entah
sejak kapan, status mahasiswa selalu dianggap membanggakan, terlebih dengan
PD-nya banyak mahasiswa yang berkoar mengaku sebagai agent of change maupun social
control’’
Dari
Kota
hingga pelosok desa, menjadi mahasiswa merupakan dambaan tiap anak muda yang baru menyelesaikan sekolah.
Banyak orangtua yang mewanti-wanti agar anaknya mau kuliah, dengan harapan sang
anak bisa meninggikan drajat keluarga. Bahkan meski amat mahal biaya kuliah, beberapa orangtua
rela mengeluarkan uangnya demi
menuruti permintaan sang anak.
Ironisnya
hal tersebut bakal berbalik arah saat melihat kehidupan mayoritas
mahasiswa di kampus. Terlebih di UIN (baca: Suka) yang notabene kampus rakyat,
aura kerakyatan tidak lagi terlihat. Strata ekonomi rendah yang disematkan
banyak pihak kepada mahasiswa UIN seolah dimentahkan dengan menjamurnya gadget
di tangan para mahasiswa. Bahkan, tak jarang mahasiswa yang menenteng dua atau
tiga jenis peralatan elektronik mahal. Belum lagi sepeda motor yang sudah
menjadi sunnah mu’akad yang nyaris wajib ‘ain.
Dengan adanya fakta
tersebut, seharusnya beasiswa
miskin tidak lagi masuk ke kampus UIN. Beasiswa miskin justru mengajari
mahasiswa untuk melakukan kecurangan dengan pengakuan-pengakuan palsunya. Tidak
adanya pengawasan dari pemerintah perihal penerima beasiswa menjamin mahasiswa
melakukan apapun untuk mendapatkan suntikan dana dari rakyat itu. Dana besar
yang seharusnya bisa digunakan menyekolahkan para gelandangan berubah menjadi
subsidi pembaruan gadget atau biaya shopping mahasiswa. Sayangnya, birokrasi
memaklumi hal ini. Tidak ada usaha untuk mengalihkan dana tersebut ke sesuatu
yang lebih bermanfaat. Atau paling tidak berusaha memberi dana dengan jalur
yang halal.
Selain
kehilangan aura kerakyatan dan (mungkin) kejujuran, konon mahasiswa UIN sudah
kehilangan aura militan rasionalnya. Banyak mahasiswa yang tidak berani turun
ke jalan untuk aksi, padahal kezaliman tengah merebak. Giliran saat berani
aksi, sisi rasional yang seharusnya dimiliki mahasiswa seakan dibuang entah ke
mana.
Prahara Uang
Kuliah Tunggal (UKT) merupakan topik hangat yang menjadi bahasan sebagian
kalangan. Tapi patut disayangkan karena aksi penolakan tidak dilakukan secara
arif. Aksi vandalisme dengan mencoret-coret tembok dan merusak fasilitas merupakan
cara-cara yang tidak memperlihatkan sisi rasional mahasiswa. Bagaimana mungkin
menyuarakan keadilan dengan melakukan perusakan?
Ironi memang, mahasiswa sudah terjebak
di dalam lingkaran sistem kampus yang tidak proporsional. Aksi mahasiswa
seperti itu bukan semata-mata kesalahan mahasiswa. Kurangnya sosialisasi dan
ruang dialog menjadikan mahasiswa melakukan cara-cara pragmatis yang dianggap
sebagai satu-satunya solusi.
Dengan berbagai
lika-liku kehidupan kampus tersebut, masihkan mahasiswa bangga menyebut dirinya
agent of change? Lalu apakah jenis mahasiswa yang seperti ini masih layak
didambakan? Entahlah!
*Sarjoko merupakan mahasiswa yang
suka melamun. Crew Rhetor.