Oleh; Sarjoko
Suara ringikan kuda biasa
terdengar dari pinggiran Bengawan Sore menjelang petang. Konon usia kuda yang
tak pernah terlihat bentuknya itu ratusan tahun.
***
Langit pagi yang cerah diusik gelegar teriakan seseorang
di singgasana. Itu adalah suara raden. Raden adipati Arya putra pangeran Sekar yang
belakangan semakin gelisah karena usaha demi usaha yang dilakukannya belum juga
menemukan titik keberhasilan.
Raden bukanlah orang yang bisa berlama-lama bersabar. Dia
sangat mudah naik pitam. Oleh karenanya, kedatangan surat dari Pajang yang disertakan
pada seorang prajurit disambut makian demi makian. Terlebih raden melihat daun
telinga prajurit itu raib karena dipotong orang Pajang.
“Diam paman!” hardiknya pada Ki Matahun yang renta saat
memberinya nasihat. Raden memang tak mampu mengontrol diri dan ucapannya ketika
muring-muring[2]. Kepada siapapun
dia melampiaskan amarahnya termasuk kepada penasehat kraton. Ki Matahun terus
memegangi tangan raden yang berjalan cepat menuju kudanya yang tengah dipersiapkan.
“Sabarlah, Nak Mas. Lebih baik sertakan pengawal,” kata
Ki Matahun terus membuntuti. Namun Raden tak menggubrisnya. Wajahnya memerah
penuh gurat amarah. Ia melompat ke kudanya, lalu bergegas pergi meninggalkan
kraton.
***
Aku melihat ada bayangan hitam berkelebat di atas kepala
tuanku. Itu pasti pertanda buruk! Sebisa mungkin aku mengguncang-guncangkan
tubuh agar tuanku membatalkan rencananya. Aku takut terjadi sesuatu dengannya.
Namun dia justru mencambukku dengan kasar, memaksaku berhenti meronta akibat
rasa perih yang menjalar di perutku. Akhirnya aku hanya bisa menuruti
kendalinya, walau aku merasa sesuatu buruk menimpa.
Setiap batu yang kulompati mengisyaratkan agar aku tidak
meneruskan perjalanan ini. Kami hanya berdua, pasti ada sesuatu yang salah
dengan keputusan tuan. Biasanya kami selalu bergerombol karena kami sadar musuh
tuan amatlah banyak. Pohon-pohon yang berjejer di pinggir-pinggir jalan pun
mencegahku untuk meneruskan perjalanan ini.
Plakkk!
Perih kembali menyapa kulitku. Tuan menyuruhku agar lebih
cepat lagi. Entah apa yang tengah direncanakan hingga kalapnya sudah kelewat
batas. Kami membelah hutan Jipang tanpa pengawalan seorang prajurit.
Tuan memberhentikanku tepat di depan sebuah bengawan. Ia
turun dari punggungku lalu berjalan menuju bibir bengawan. Tuan memandang ke
sebrang setelah itu membasuh mukanya dengan air bengawan yang jernih.
Aku melihat bayangan gelap yang sejak tadi membuntuti
tuan beterbangan di seberang. Jumlahnya kini ratusan bahkan ribuan. Bayangan
itu berputar-putar seperti kawanan elang yang mencari mangsa. Jelas ini
pertanda buruk! Terlebih terdengar
kawanan gagak mendendangkan lagu kematian. Aku berusaha memberi tanda kepada
tuan untuk tidak menuju ke sana. Sepertinya tuan sependapat denganku.
“Hadiwijaya, keluar!” bentaknya keras. “Keparat! Yen
nyata lanang metuwa! Aja singidan![3]” Namun tidak ada tanda-tanda sosok yang dicari menampakkan
batang hidungnya. Tuan terus mengeluarkan kata makian sampai terlihat dua orang
muncul dari sebuah pohon yang besar.
“Cuih! Ternyata raja kalian pengecut!. Segeralah enyah
sebelum Brongot Setan Kober[4] mengorek isi perut
kalian!”
“Jangan sombong kisanak. Hadapi kami sebelum menghadapi
yang mulia sultan Hadiwijaya!”
Mendengar penuturan itu, tuan berang. Ia meloncat ke atas
punggungku, lalu memacuku untuk segera menyebrangi bengawan. Aku menghentakkan
kaki memberi isyarat agar tuan tidak melanjutkan rencananya. Namun ia bergeming
dan memaksaku untuk segera menyebranginya. Sesampai di tanah yang lapang, tuan
menantang bertarung secara kesatria. Tuan dapat memenangi pertarungan itu.
Tuan tertawa terbahak-bahak merayakan kemenangannya. Ia
mengumpat kepada Hadiwijaya menantu Trenggana yang telah merampas haknya
sebagai sultan. Namun cepat ia terdiam kala dilihatnya seseorang muncul dari
pohon yang sama dengan menunggang kuda putih. Seketika aku merasa gugup.
Jantungku berdegup kencang. Aku hentak-hentakkan kaki ke tanah.
“Kakang Arya Penangsang, perkenalkan. Aku Pangeran Lor
ing Pasar, Danang Sutawijaya putra mahkota kesultanan Pajang. Akulah lawanmu!”
Tuan tertawa terkekeh-kekeh, terlebih pemuda di
hadapannya masih belia. Ia mengatakan kepada lawannya untuk menyerah dan menerangkan
bahwa ialah yang berhak menjadi sultan di tanah Jawa.
“Aku akan merebut apa yang menjadi hakku!” seloroh tuan.
Namun aku tak tahu apa yang mereka ucapkan kemudian. Baru
kali ini aku merasa sesuatu yang aneh. Ekor kuda putih itu dijungkat-jungkatkan
sehingga membuatku merasa geli. Aku menghentak-hentakkan kakiku ke tanah
berkali-kali, ingin agar kuda itu tahu keperkasaanku.
Terasa ada cambukan yang mengenai kulitku. Tetapi aku tak
peduli. Aku ingin kuda itu mendekat. Aku terus melompat-lompat. Nafasku tak
lagi beraturan. Tak ada yang terlihat kecuali kuda putih itu yang, aduhai….
Akan kutunjukkan tarian-tarian yang pernah kuperagakan di depan para prajurit
Jipang. Dia pasti suka. Ah, kenapa dia terus berlari? Ayo kembali! Nah, iya
betul. Kembalilah. Ayo kita bertemu, dan…
Aku tersadar ketika tubuhku tersungkur di tanah. Di
depanku terlihat tuan memegangi tombak yang menancap di perutnya. Tuanku, walau
dengan nafas yang tersenggal-senggal tampak masih kuat untuk melanjutkan
pertarungan ini meski bayangan hitam mulai menjuraikan cakarnya ke dalam tubuh
tuan melalui mulutnya yang menganga. Ia berhasil mencabut tombak itu sampai
usus-ususnya menjurai di atas keris pusakanya.
Kedua musuh yang dikalahkan tuan melihat tuan dengan
senyum kemenangan. Perhatianku kembali tertuju pada kuda betina terindah yang
baru kulihat. Di atasnya seorang pemuda ingusan terkekeh-kekeh.
Aku tak bisa melakukan apapun untuk membantu tuan
berdiri. Dia tak mampu berdiri dan bersimpuh lutut sambil memegangi organ-organ
yang keluar dari dalam perutnya. Sementara bayangan hitam mulai memasukkan
bagian kepalanya ke mulut tuan yang menyebabkan tuan menganga lebar. Lebar
sekali.
Aku melihat tuan ditarik-tarik oleh bayangan itu melalui
mulutnya. Tuan memberontak hebat. Matanya mendelik menatap langit yang
diselimuti awan. Gagak-gagak itu terus bernyanyi, semakin mempercepat iramanya,
menyayat, dan menggetarkan pohon-pohon serta makhluk hidup lain.
Bayangan-bayangan hitam yang lain mulai mengepakkan
sayap-sayapnya, terbang tinggalkan tempat pertarungan. Seketika terik matahari
terasa membakar. Kini, hanya satu bayangan yang masih tersisa, berusaha membawa
ruh tuan.
“Ak....ku pasti bi…sa bunuh k…kalian!” Dengan sisa-sisa
tenaga, tuan berusaha berdiri sembari mencabut pusaka dari wrangkanya. Dia
sangat sakti, tak mungkin membiarkan lawan menyaksikan dia menyerah. Apalagi
demi gelar sultan Jawadwipa yang seharusnya menjadi haknya. Tapi…
Jreeeet.
Tuan mengerang karena bagian dalam tubuhnya yang bersandar di keris terputus. Seketika
darah memuncrat, mengalir dari sela-sela tangan yang terus memegangi perutnya.
Darahnya bercucuran ke tanah. Keris yang digenggamnya terlepas. Tuan ambruk
dengan mata mendelik ke langit panas. Lagu kematian gagak mengiringi dukaku
yang hanya bisa melihat rangkaian peristiwa ini. Bayangan hitam itu berhasil
membawa tuan terbang ke atas, melewati gagak-gagak yang menatap sayu. Lalu
terus terbang entah ke mana. Air mataku mengalir. Inilah buah kekhawatiranku.
Tak berselang lama, banyak prajurit Pajang yang muncul
dari semak belukar. Mereka sama-sama menikmati ketersiksaannya kami dengan
senyum yang mengembang. Aku tak lagi peduli dengan kuda putih itu. Kuda pembawa
petaka!
Di sebrang kali, kulihat Ki Matahun dan beberapa prajurit
datang. Melihat kedatangan orang-orang Jipang, prajurit Pajang yang jumlahnya ratusan
langsung menyerang, memenggal setiap kepala prajurit dan memancangnya di pinggir
bengawan. Bengawan pun berubah warna menjadi kemerahan berbau anyir. Kupacu
langkah untuk meninggalkan arena pertarungan ini.
***
Tangisku tak mungkin bisa kembalikan kadipaten Jipang Panolan
dari kehancuran. Aku disalahkan oleh pepohonan dan setiap semut yang
menyaksikan pertarungan waktu itu. Mereka menyebutku berkhianat. Mereka
mengecapku sebagai penghancur kejayaan kadipaten yang akan menjadi kesultanan.
Sumpah, aku tak berniat untuk itu!
***
Aku mencari tubuh tuan untuk kubawa ke kraton. Namun aku
tak melihat tuan di antara tubuh-tubuh tanpa kepala prajurit Jipang. Aku sangat
mengenal tuan jika pun kepalanya dipenggal prajurit Pajang. Di mana dia? Aku
akan terus mencarinya di sepanjang bengawan ini. Sampai kapan pun!
***