Gerakan Mahasiswa mengalami degradasi ? pertanyaan inilah
yang timbul ketika kita menelisik gerakan mahasiswa hari ini. Aksi jalanan
menjadi hal yang tak jarang dilihat.
PMII Rayon Aufklarung Fakultas Sains dan Teknologi menggelar
bedah buku : Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (Ahad, 11 Mei 2014) di Convention
Hall. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Agus Prasetyo dari GP Ansor Jogja dan Eko
Prasetyo Sebagai penulis buku sekaligus direktur SMI (Social Movement Institute).
Agus Prasetyo, “Gerakan Mahasiswa hari ini mulai luntur
berbeda sekali suasana serta kondisi dulu, disana –sini masih banyak terlihat
muda-mudi berorasi mereka seperti menikmati sesuatu yang sama sekali tidak
nikmat”. Ungkapnya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFdwvBK8809ETWnGRvmQb8gKjPKGJbQKEmv8RWbE-g1Vp31NJDIYUfwCVpW6h4UQVixl0OOyUvgT8vXXIBLm8gBaVryy8WorEJh8eMPUkZGZxiJL6WpJVNvenyEvdi9x7chWMIwYIFNZk/s1600/Foto-0403.jpg)
Dalam buku ini pertama penulis mengawali dengan pertanyaan
mendasar kepada para mahasiswa, Siapa Dirimu? Ada kebanggaan tersendiri ketika
mulai OSPEK (OPAK) dengan menyandang label “Mahasiswa”. “Ketika mulai kuliah
beragam mimpi-mimpi heroik perubahan dan berbondong mengikuti organisasi
tertentu”. Tambahnya. Identitas mahasiswa mulai luntur, “heroisme hanya ketika
di OSPEK dan di Kaderisasi dengan uforia masa lalu dari para seniornya
namun hal tersebut hilang ketika berada diruang kuliah, mahasiswa dibelenggu
oleh peraturan yang kadang tidak masuk akal. Dan Siapa menjadi Pertanyaan”.
Pertanyaan kedua penulis melanjutkan dengan kalimat “Lihatlah
sekelilingmu”. Kampus menyulap dan meninabobokan kesadaran. “Kepatuhan menjadi
Norma, Taat menjadi Agama, Indeks Prestasi menjadi keimanan”. Lihatlah kampus
ini, di mana orang miskin tinggal? Gedung megah, Mesjid mewah, serta
dikelilingi dengan tempat megah dan mewah (KFC, Amplas Mall, dll).
Akhir sesi penulis memberikan jawaban atas pertanyaan dari
salah seorang peserta tentang budaya riset/ penelitian dikalangan mahasiswa, “Dunia
intelektual kita dibatasi, karena setiap ada judul skripsi yang bombastis
cenderung tidak dihargai dengan berbagai alasan”. Diakhir, Seperti biasa penulis dengan gaya
provokasinya, “riset tidak akan hidup jika budaya gerakan tidak ada”. (Mr.R)