![]() |
sumber: gusdurphotos |
Catatan Taufiqurrahman
“Gitu
aja kok repot!” Begitulah semboyan yang biasa diungkapkan oleh mantan Presiden
ke-4 RI dan mantan ketua umum PBNU sejak 1984 hingga tahun 1994, KH. Abdurrahman
Wahid atau yang lebih di kenal dengan sebutan Gus Dur. Sosok pluralis, humanis
dan idealis yang menginspirasi banyak orang. Di balik kekaguman itu, saya
mencoba memaparkan jejak rekam Gus Dur di masa kecilnya hingga masa mudanya.
Gus
Dur dilahirkan di Jombang pada tahun1940 dari pasangan suami istri KH. Abdul
Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Sholihah. Ia memiliki trah ulama’ besar. Ayahnya, Wahid
Hasyim adalah putra KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Wahid merupakan mentri agama pertama Indonesia.
Sedangkan ibunya ada putri KH. Bisri Syansuri yang juga salah satu ulama
pendiri NU. Gus Dur kecil selalu belajar mengaji dan ilmu agama kepada kakeknya
KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang.
Ketika
berumur empat tahun, Gus Dur pergi meninggalkan Jombang bersama ayahnya ke
Jakarta. Karena ayahnya telah diangkat menjadi ketua MIAI menggantikan KH.
Hasyim Asy’ari. Di Jakarta, Gus Dur bersama ayahnya KH. Abdul Wahid Hasyim tinggal
di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Mereka tinggal di daerah yang merupakan pusat
kegiatan, sehingga mereka, lebih-lebih ayahnya sering bertemu dengan
orang-orang nasionalis seperti Bung Karno, Hatta. Akan tetapi, ketika masa
revolusi, mereka kembali ke Jombang untuk berkumpul dengan ibu dan
adik-adiknya. Dikarenakan pada tahun 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim terlibat dalam
kegiatan pemerintahan, maka ia sekeluarga pidah ke Jakarta. Gus Dur merupakan
satu-satunya anak yang paling dekat dengan ayahnya di antara saudara lainnya,
sehingga dia selalu ikut mendampingi ayahnya dalam kegiatan-kegiataan
kepemerintahan maupun NU.
Gus
Dur menempuh pendidikan dasar di Jakarta yang dekat dengan rumahnya daerah
Matraman Jakarta Pusat. Setelah tamat di sekolah dasar, Gus Dur melanjutkan
sekolah di SMP di Yogyakarta dan tinggal
di rumah salah seorang tokoh Muhammadiyyah. Di samping itu, Gus Dur juga
belajar di Pesantren Al-Munawwir Krapyak di bawah pengajaran KH. Ali Maksum. Setelah
itu, Gus Dur pidah ke Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan KH. Khudori.
Di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur hanya mondok selama dua tahun. Setelah itu
beliau pindah ke Jombang dan belajar di Pesantren Tambakberas di bawah asuhan
KH. Wahab Chasbullah.
Ketika
Gus Dur mamasuki usia remaja, beliau mulai serius dalam membaca, baik ilmu
agama, sastra, novel, maupun lainnya. Bahkan ketika Gus Dur SMP, beliau mulai
membaca wacana-wacan kiri seperti karya Karl Marx, Lenin dan lainnya. Hobi
lainnya ialah menonton film di bioskop.
Ada
hal yang berbeda pada Gus Dur ketika belajar di Pesantren Tambakberas Jombang. Ia
melakukan pendekatan-pendekatan sufistik dengan berziarah ke makam-makam yang
ada di Jombang, termasuk makam ayah dan kakeknya di Pesantren Tebuireng. Ia
lakukan dengan berjalan kaki pada malam hari agar tidak ada orang yang
mengetahuinya. Ketika di Tambakberas, Gus Dur mulai mengajar dan menjadi kepala
sekolah dan mulai aktif dalam tulis menulis di media massa. Pada waku itu juga,
Gus Dur mulai membaca wacana Islam fundamentalis seperti karya-karya Hasan
Al-Banna, Sayyid Qutb dan lainnya. Ketika mengajar, Gus Dur terpikat dengan muridnya,
seorang gadis cantik yang bernama Nuriyah. Wanita tersebut kelak dinikahinya.
Pada
tahun 1963, Gus Dur mendapat beasiswa departemen agama untuk melanjutkan
studinya ke Kairo Mesir. Gus Dur menerimanya dengan senang hati dan memilihnya
untuk masuk di Universitas Al-Azhar. Walaupun Gus Dur memilih Universitas
terkemuka dan tertua di dunia, beliau merasakan kekecewaan, karena harus
mengikuti tes bahasa Arab pemula. Ia juga merasakan kekecewaan lagi karena
semua mata pelajarannya sama dengan pelajaran di Pesantren. Sepanjang tahun
1964, Gus Dur tidak masuk kuliah dan waktunya dihabiskan dengan membaca buku di
perpustakaan besar di Kairo, menonton film di bioskop dan diskusi di
kedai-kedai kopi.
Sebagaimana
biasa mahasiswa yang berasal dari Indoensia, Gus Dur juga tinggal di asrama
mahasiswa Indonesia yang leboh dikenal dnegan sebutan “Desa Indonesia”. Dan
pada waktu itu juga, Gus Dur tepilih sebagai ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia. Walaupun Gus Dur berada di luar negeri, beliau tetap berhubungan
dengan gadis pujaannya itu, Sinta Nuriyah dengan selalu mengirim surat
kepadanya dan menceritakan kegiatan serta kekecewaanya di Kairo. Selama satu
tahun lebih di Kairo, Gus Dur mendapatkan suatu pekerjaan di kedutaan besar
Indonesia. Akan tetapi, pekerjaan itu memberikan tantangan dan kekhawatiran
terhadap Gus Dur dengan keadaan yang terjadi di Indonesia. Yakni pergolakan dan
pertumpahan besar-besaran antara kaum kiri dan kanan. Karena Gus Dur sebagai
pekerja di keudataan besar Indonesia, ia mendapat tugas untuk menyelidiki
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang membela golongan kiri. Pada saat itulah Gus
Dur mengalami tekanan dan trauma yang berat. Akan tetapi, ia berhasil untuk
membela teman-temannya itu.
Singkat
cerita, akhirnya Gus Dur mendapat tawaran beasiswa ke Baghdad dan beliau pun
menerimanya. Di sinilah Gus Dur mulai serius dalam menjalani dunia akademiknya,
karena di Baghdad merupakan tempat bagi para intelektual untuk bebas bertukar
pikiran dalam bidang keilmuan. Walaupun Gus Dur mempunyai waktu yang padat
dalam dunia akademiknya tapi beliau tetap tidak meninggalkan kebiasaanya
membaca buku dan menonton film. Di Baghdad, Gus Dur juga bekerja di kantor
Ar-Rahmadani, perusahaan khusus impor barang tekstil dari Eropa dan Amerika. Selama
tiga tahun pertama di Baghdad, Gus Dur tinggal bersama 19 mahasiswa yang juga
berasal dari Indonesia. Sebagaimana biasa dengan gaya humorisnya, Gus Dur
selalu membuat hal-hal yang aneh sehingga bikin semua teman-temannya jengkel
kepadanya. Pada pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studinya di
Baghdad dan pindah ke Eropa. Ketika di Eropa beliau mempunyai kesempatan untuk
pergi ke Belanda, Jerman dan Prancis. Gus Dur hanya tinggal selama 6 bulan di Eropa.
Pada tahun 1971, ia kembali ke Indonesia.
Penulis adalah
mahasiswa FDK jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, pengagum sosok dan
pemikiran Gus Dur.