Roihan Asyrofi*
Benarkah orang miskin dilarang sekolah?
Bila melihat realita pendidikan negara kita saat ini, pernyataan tersebut
memang tersirat dengan adanya biaya pendidikan yang semakin melangit. Bukan
hanya di pendidikan swasta, universitas negeri pun berlomba-lomba menaikkan
biaya pendidikannya. Apalagi dengan adanya otonomi kampus, biaya pendidikan
menjadi mengerikan! Lihat saja misalkan pada tahun ajaran 2005/2006, biaya pendidikan di
perguruan tinggi maupun swasta naik 5-10% per semester. Peningkatan biaya
operasional perguruan tinggi tersebut akibat dari kenaikan BBM dan tingginya
angka inflasi (Kedaulatan Rakyat, 27 April 2006).
Apalagi ditambah sekarang pada tahun
ajaran 2013-2014. Lihat saja berapa melejitnya biaya pendidikan? Sungguh sangat
mengherankan! Ke mana para elite-elite politik kita berjalan, apakan mereka
buta dengan kemiskinan yang semakin meraja lela? Atau pura-pura lupa dengan
tugas mereka sebagai pemerhati dan penerus bangsa yang seharusnya diperhatikan secara
seksama? Hanya ada satu hal yang bisa merubah kebobrokan pendidikan kita ini,
yaitu dengan merubah sistem dengan melibatkan otoriteran pemimpin demi
memajukan nilai-nilai pendidikan yang sudah termaktub di pancasila. Mungkin
para orang-orang di Senayan sana lupa akan kalimat-kalimat pancasila, namun
mereka sadar ketika mau gajian. Sungguh ironis! Memang kalau para pengamat
amatiran seperti saya ini hanya bisa mengritik, karena mengeritik itu sangat
enak sekali. Namun ada analisis dirilah. Dari sekian banyak kritikan yang
muncul itu, agar minimal ada sedikit perubahan terhadap hasil pendidikan di
Indonesia, minimal selenggarakan sekolah gratis. Fakta di lapangan sangat
berbanding terbalik dengan sisitem yang telah dibuat.
Seperti halnya UKT, di universitas
negeri manapun pasti sistem ini sudah tidak asing lagi di telinga kawan-kawan
mahasiswa. Namun yang tidak tahu dari sistem ini adalah sistem bermuka dua,
alias munafik. Kalau orang Islam bilang, pasalnya memberi murah dengan biaya
pendidikan, namun memangkas anggaran kemahasiswaan. Apakah ini yang dinamakan
penjajahan tidur, penjajahan selimut, yang mana memberi murah pada suatu biaya
pendidikan, namun di sisi lain ada konfrontasi di dalamnya dengan mengurangi
kegiatan mahasiswanya dengan memangkas hampir habis dana tersebut? Dan
akibatnya mahasiswa malas untuk berorganisasi, berdiskusi, beraksi, karena
tidak ada kucuran dana yang jelas di sana. Ditambah lagi dengan besarnya pajak
yang serta merta berjalan dengan pembuatan LPJ (laporan pertanggungjawaban)
pada sebuah acara pada fakultas.
Ini mengisyaratkan agar kita selalu
tertidur di dalam kebrobokan birokrasi, di samping kita dininabobokkan dengan
pemangkasan biaya perkuliahan dengan adanya UKT. Namun kita dilarang untuk
berproses, dan ada hambatan di dalamnya, seperti halnya fungsi masuk kuliah 75%.
Saya juga masih bingung, apa arti dengan semua ini? Aturan negara, kah? Atau
aturan Tuhan? Alangkah baiknya ada kesetaraan dalam pembiayaan di sana, yaitu
dengan menyingkronkan antara biaya aktivitas mahasiswa dengan perkuliahan, agar
sama-sama berjalan beriringan, tanpa ada sebuah kesenjangan. Kita harus
secepatnya merubah mainstream bahwa sekolah hanya untuk mencari uang
bisa hidup dan kaya. Itu betul! Namun kita adalah orang terpelajar, bahkan
akademisi. Sadarlah untuk selalu punya niatan setelah tamat sekolah untuk
memajukan bangsa dengan kemampuan-kemampuan kita, agar mengurangi
ketergantungan kita terhadap negara lain. Namun semua itu kurang difasilitasi
oleh negara, pemerintah bahkan birokrasi. Semuanya diam seakan-akan mereka
pura-pura lupa dengan apa tugas mereka. Tetapi dengan adanya pesta
demokrasi 9 April kemarin, pemerintahan
yang baru adalah pemerintah yang sangat memerhatikan alokasi pendidikan negara
Indonesia, bukan hanya urusan politik internal dan partainya belaka. Akan
tetapi memperhatikan harapan rakyat, harapan dan cita-cita bangsa.
Seharusnya biaya pendidikan semakin
menurun karena anggaran pendidikan regional yang sebelumnya 8% naik menjadi
20%. Namun anggaran tersebut hanya kebohongan belaka untuk membodohi
masyarakat. Realitanya pada tahun 2003 anggaran tersebut tidak lebih dari 4%.
Lantas, dikemanakan 16%nya? Pada tahun 2006, anggaran pendidikan nasional hanya
9,1% sehingga membuat PGRI menggugat pemerintah untuk segera menaikkan anggaran
tersebut sekurang-kurangnya 20% seperti
yang di janjikan dalam UU (Pembodohan Siswa Tersistematis). Pemerintah harus segera
bertindak untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Jangan sampai menunggu teriakan dari
rakyat baru benar-benar memperhatikan nasib pendidikan Rakyat yang kurang
mampu, sehingga slogan “rakyat miskin dilarang sekolah” tidak menjadi opini di
tengah-tengah bangsa kita ini.
*Pemerhati pendidikan lokal daerah dan kota